Page

Thursday, October 6, 2011

PNS


Aku hanyalah seorang mahasiswa yang baru memperoleh gelar sarjana strata satu dari sebuah universitas negeri. Saat ini, pontang panting mencari pekerjaan. Dunia pekerjaan seakan sebuah dunia mistis yang tidak dapat ditembus begitu saja. Butuh kemampuan supranatural tinggi atau setidaknya berbekal jimat sakti. Entah sudah berapa eksemplar ku layangkan lamaran pekerjaanku. Bahkan list daftar perusahaan telah habis ku contreng. Namun nihil. Hingga detik ini tak pernah ada jawaban yang pasti. Aku merana dalam penantian yang tak jelas!
Namaku adalah Arie Nuansya. Aku dipanggil Arie. Tak perlu aku gambarkan ciri fisik ku. Namun lelaki yang bernama Arie ini, adalah seorang teguh dengan pendirianya. Mempertahankan idealisme dalam dunia yang merayu. Kekeh dengan apa yang disebutnya prinsip dalam hidup, yakni kejujuran! Hal itu yang mungkin menjadikan diriku hanya ingin bekerja sesuai dengan idealisku. Kalian tau apa alasannya? Aku hanya menilai jika aku bekerja tidak sesuai dengan apa yang tidak aku inginkan, maka aku tak akan benar-benar melakukan pekerjaan itu dengan baik. Hasilnya, tak akan ada sebuah profesionalitas. Aku akan menjadi tumpul, lemah, dan sampah!
Atas dasar itu, entah mengapa aku menjadi tak menginkan pekerjaan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil. Tak perlu aku jelaskan lebih rinci mengapa? Dulu, aku masih ingat ayah pernah begitu memaksa ku agar aku mau menjadi PNS. Waktu itu, setelah aku wisuda, di ruang keluarga ayah berkata kepadaku.
“Rie, ijazahmu sudah keluar?” aku mengalihkan pandanganku dari televisi ke ayah yang sedang membaca koran.
“Sudah Pa” jawabku datar, kembali menyaksikan tayangan televisi
“Papa masih punya jabatan. Masih bisa dengan mudah jadikan kamu PNS”. Aku berusaha mencari tau arah pembicaraan ini. Kemudian ayahku kembali berkata. “Hari senin kamu bisa masuk kerja di kantor papa”. Suaranya terdengar tenang dari balik Koran.
“Pa, Arie tidak ingin jadi PNS”
“Kenapa tidak mau?” menghentikan membaca, menurunkan sedikit korannya, menatap ku dengan kacamata yang melorot ke hidung!
“Ya” aku ragu “Arie malas saja jadi PNS” hanya itu yang telintas dalam benakku
“Kenapa malas. Lihat papa, PNS tidak selamanya tidak punya apa-apa”.
“Bukan gaji yang saya permasalahkan, Pa”
“Kalau begitu apa?”
“Sudah lah pak, Arie tidak ma…”
“Papa tidak ingin anak papa, punya masa depan yang tidak jelas”
“Pa, apanya yang tidak jelas? Arie sekarang lagi berusaha”
“Untuk apa repot-repot melamar pekerjaan sana-sini dan tidak ada hasilnya” nada suaranya mulai meninggi. Kemudian ayahku melanjutkan, “kamu jadi tenaga honorer saja dulu di kator papa. Bulan depan ada penerimaan PNS. Baru kamu ikut!”
Aku tidak mau sore ini menjadi sebuah pertengkaran antara ayah dan anak hanya karena PNS. Maka aku memilih diam. Aku tahu papa ingin agar anaknya sukses dikemudian hari. Tapi sukseskan tidak harus menjadi PNS. Masih banyak cara lain. Bukankan kita diajarkan untuk tidak mudah menyerah. Gagal planning A, kita masih punya planning B, C, dan mungkin sampai Z. Tapi PNS tidak masuk ke dalam salah satu rencanaku.
Entah mengapa aku tak sedikit pun tertarik untuk menceburkan diriku ke dalam pekerjaan itu. Semenjak aku bergabung ke dalam gerakan mahasiswa anti korupsi saat kuliah, seakan semua menjadi jelas. Penggelapan terlalu nyata, kecurangan tak perlu ditutup-tutupi. Kau anak siapa, dan kau punya berapa, itu yang berlaku. Aku masih ingat seorang senior harus dilarikan ke rumah sakit karena percobaan bunuh diri. Dia mengikuti tes CPNS, sudah membayar puluhan juta dari hasil jual kebun milik bapaknya. Namun naas, dalam daftar pengumuman namanya tak tercantumkan. Sementara itu, uang puluhan juta itu pun raib etah kemana? Saat itu keluarganya benar-benar sudah tidak punya apa-apa lagi!
Aku masih ingat saat teman-teman berhasil membongkar kasus penggelapan dana renovasi sejumlah sekolah. Miliaran rupiah untuk sebuah bangunan, yang sedikit saja gempa menggoyang bumi, pasti akan ambruk seketika. Saat itu, aku tak ada di Indonesia. Aku sementara mengikuti pertukaran pemuda ke Canada. Namun teman-teman tetap saling mengabarkan informasi. Bahkan mereka mengirimkan data-data yang mereka temukan ke emailku. Entah mengapa, badai yang siap membokar kezaliman itu lambat laun menjadi angin sepoi-sepoi. Lama kelamaan bahkan tak berhembus lagi. Kata teman-teman, kasusnya sementara diusut oleh pihak yang berwenang. Yang anehnya, teman-teman yang tadinya begitu berapi-api, sekan tak peduli dengan kelanjutan kasus itu. Sampai gelar sarjana berada diakhir namaku, kasus itu hanya menjadi salah satu dari sejumlah kasus-kasus yang terlupakan.
Saat itu aku sadar, semua adalah permainan. Hanya sebuah sandiwara. Layaknya para pemain sandiwara, mereka memperoleh imbalan dari peran mereka. Seberapa besar? Yang pasti besar, karena mampu menyumpal mulut-mulut serigala kelaparan yang setelah dijejali makan langsung berubah menjadi kucing peliharaan! Itulah sistem pemerintahan. Aku alergi! Jika masuk ke dalam sistem yang rusak, maka akan ikut rusak. Sekuat apa, pasti tak akan mampu bertahan. Ibarat sebuah mobil, sebuah onderdil baru yang digunakan bersamaan dengan onderdil yang telah rusak semuanya, tak mampu membuat onderdil lain menjadi baru. Bahkan onderdil itu dalam hitungan hari akan rusak dan menjadi bagian dari onderdil yang lainnya. Sistem yang rusak!
***
Seiring berjalannya waktu, tuhan sepertinya belum memberikan jalan yang cerah dengan karirku. Ayah pun telah bosan membujuk ku. Dibiarkannya saja aku.  Katanya, “terserah kamu maunya apa”.  Untungnya, ini bukan sebuah permusuhan antara ayah dan anak. Ini lebih kepada kebebasan yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak laki-lakinya dalam menentukan pilihan hidup. Atau ayah sudah dapat menebak hasilnya seperti apa? Aku akan menyerah, dan kembali membuat rencana bersama-sama dengannya! Mungkin seperti itu, sebab idelasiku semakin tergerus oleh waktu. Oleh tanggu jawab!
Akhirnya, aku benar-benar menyerah. Aku kembali pada ayah untuk mengikuti apa yang sejak awal diinginkannya. Mungkin dia benar, PNS dalah nasibku. Toch, banyak orang yang jadi PNS tapi tetap mampu berkreatifitas, mengasah kemampunnya. Aku mencoba mencari sesuatu yang bisa menguatkanku. Itu saja!
Di satu sore, di ruang keluarga aku memulai percakapan dengan ayah.
“Pa, Arie mau bicara” aku sedikit ragu
“Bicara apa?” jawabnya datar, sambil menyaksikan berita di televisi
“Tentang”, aku bingung memulainya dari mana. “Tentang pekerjaan. Arie mau jadi tenaga honorer”, ayah menatapku. Suara pembaca berita terdengar sedang menginformasikan KPK yang berhasil membongkar kasus korupsi seorang pejabat
“Kamu yakin?” ayah seakan tidak percaya
“Ya, tapi saya tidak mau jadi nonorer di kantor Papa. Saya mau di kantor yang sesuai dengan disiplin ilmu ku” tawar ku. Ayah tertawa, mengeleng-gelengkan kepalanya.
“Mana anak Papa yang dulu? Sudah bosan dengan semua?” nada suaranya penuh ketidakpercayaan.
“Arie, hanya tidak ingin menjadi anak yang tidak mampu berbakti kepada orang tua” jawabku datar
“Arie, Papa memang sangat ingin kamu jadi PNS. Tapi itu dulu” , menatap ku lekat-lekat. “Sekarang Papa sadar, banyak hal yang bisa dilakukan. Papa juga minta maaf, karena selama ini Papa tidak pernah mendukungmu” dia menarik nafas dalam-dalam, menghembuskan, lalu kembali berkata, “kamu yakin mau jadi tenaga honorer?”.
“Yaa a, yakin pak” aku ragu!
“Sekarang Papa tidak ingin kau jadi PNS” seraya mengambil kopi yang ada di atas meja, menyeruput, lalu meletakkannya kembali.
“Maksud Papa?” seakan aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya.
“Papa sekarang sedang mengembangkan usaha rumput laut. Semua sudah Papa persiapkan. Dan Papa minta kamu yang mengelola usaha ini” ayah berkata penuh semangat. “Ini kan juga sesuai dengan disiplin ilmu kamu” lanjutnya. “Bagaimana?”
Aku seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan ayah. Lelaki cukup berumur itu, secara diam-diam mencoba memahami ku. Ayah, entah apa yang membuatnya berubah, namun kali ini dia lah ayah yang sangat membanggakan di suluruh dunia. Aku hanya mampu menjawab dengan senyuman bangga. Senyum seorang anak, yang tidak akan menyia-nyiakan sebuah kepercayaan!

Palu (Anoa-Trimedia, 22/09/2011)

No comments:

Post a Comment