Page

Tuesday, April 30, 2013

Di Balik FreKuenSi: Sebuah Bentuk Literasi Media



Bebrapa waktu yang lalu, tepatnya Senin, 29 Mei, dibawah koordinasi rumah baca yang ada di Kota Palu yaitu Nombaca, sebuah pemutaran film dalam menyambut May Day digelar. Acara sederhana dengan mengundang para praktisi media massa, komunitas media online, dan juga para mahasiswa untuk duduk dan nonton bersama sebuah film dokumenter, Dibalik Frekuensi.

Film ini secara frame besar bercerita tentang buruh, media massa dan berita di media massa itu sendiri. Seorang wanita, Luviana yang bekerja pada stasiun televisi MetroTV yang menuntut haknya sebagai seorang pekerja. Haknya sebagai pekerja tidak dipenuhi, bahkan ibu satu anak ini harus menelan pil pahit ketika hendak membentuk serikat pekerja yang terdiri dari para jurnalis di MetroTV dan dianggap dapat mengganggu manajeman perusahaan sehingga dia mendapatkan PHK dengan alasan yang dibuat-buat. Media massa sendiri, telah menjadi alat pemiliknya dalam memperbaiki dan menjaga citra mereka. Bahkan seorang seperti Hari Suwandi harus menelan kembali luda yang telah dikeluarkanya, entah dengan "alasan apa"???

Masyarakat Indonesia dipermainkan. Masyarakat dianggap hanyalah keledai-keledai dungu yang akan menerima permainan para pemilik media dengan tujuan politiknya. Saling menyerang dan menjatuhkan secara tersirat atau saling membanggakan diri lewat penghalusan bahasa dalam pemberitaan mereka.

Film ini mengajarkan tentang bagaimana kita benar-banar harus mengerti dengan literasi media. Bahwa media massa merupakan media yang tidak bebas nilai. Terdapat banyak kepentingan di dalamnya. Sebagai pemirsa tentu saja kita harus cerdas, cerdas dalam menyaring informasi yang kita terima. Tidak menjadikan satu media sebagai sumber kebenaran ilahi pada satu kasus.

Beberapa tahun yang lalu, penulis terlibat dalam kegiatan training yang dilakukan oleh The Habibie Center. Kegiatan ini dilakukan di tiga kota di Indonesia yaitu Palu, Ambon, dan Depok. Kegiatan ini dilaksankan di tingkatan Sekolah Menengah Atas dengan target siswa-siswi tentunya, dimana penulis menjadi trainer untuk Kota Palu. Dari kegiatan itu, akhirnya saya menyadari bahwa pedidikan media sangat penting bagi generasi muda. Pemahaman media yang baik akan memberikan kemampuan analsis yang baik terhadap informasi yang disajikan oleh media massa tersebut. Sehingga akan perpengaruh terhadap pemilihan media yang tentu saja saja lebih jauh lagi ialah berpengaruh terhadap media massa itu sendiri. Sederhananya, pemirsa cerdas akan memilih program berbobot dan bukan membodohi. Kalau sudah demikian maka tidak akan ada lagi program yang hanya mengejar reting dengan tujuan keuntungan bagi pemilik media sedangkan pesan-pesan yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan penonton diabaikan.


Literasi media mencoba untuk menggerakan massa dalam menentukan tayangan televisi atau bentuk siaran di radio maupun berita di surat kabar. Hanya gerakan massa yang bebas dari nilai-nilai pemilik media atau yang punya kepentingan tertentu yang mampu melindungi kita dan keluarga kita dari informasi media yang menyesatkan. Kecerdasan massa dalam memilih media lah yang menjadi goal dari literasi media. Masyarakat menjadi cerdas dan tidak terpengaruh dengan profokasi melalui media, masyarakat cerdas dan tidak menjadi penonton atau pengonsumsi setia informasi yang mengandung sadisme dan vulgarisme.

Film Dibalik Frekuensi adalah bentuk pembelajaran media yang sangat baik bagi generasi muda. Bukan bermaksud menjatuhkan pihak tertentu, namun kenyataan yang akhirnya bersuara lewat film dokumenter yang berdurasi 144 menit tersebut. Bahwa anda, sang penguasa media begitu licik bermain dengan media anda demi kepentingan anda sendiri dan mengaggap rakyat Indonesia bodoh.


Hanya masyarakat Indonesia yang bisa merubah dan menghentikan tangan-tangan gurita sang pemilik media yang tanpa sadar telah membelit kita dan orang-orang terdekat kita. Berusaha membingkai dirinya menjadi sebuah tokoh dengan sosok yang luar biasa agung. Tampi sempurna dengan bentuk deremawanan dan senyum bersahaja yang palsu. Media adalah kekuatan namun masyarakatlah yang akan menentukan media itu mampu bertahan atau gulung tikar. Tak ada penonton pasti tak ada iklan. Dan pada akhirnya, upaya pencitraan tersebut itu hanya akan menjadi kertas koran usang yang dipakai membungkus kacang!!!

No comments:

Post a Comment