Page

Saturday, July 12, 2014

#SavePersIndonesia atau Membiarkan Matinya Profesionalisme Pekerja Media!

Kita cukup terkaget-kaget dengan realitas yang ditampilkan dalam film dokumenter "Dibalik Frekuensi" (Baca tulisan saya di sini klik) dan kemudian film "Oligarki Televisi" juga  menggambarkan dengan gamblang bagaimana media massa (televisi dengan beberapa orang pemiliknya) semakin menguasai pers di Indonesia. Apa yang terjadi? Mengapa pers di Indonesia hanya dikuasi oleh segelintir orang? Inilah yang dinamakan monopoli dan oligarki media untuk memperkuat bisnis dan juga politik. Penguasaan atas sejumlah media, berarti penguasaan atas informasi. Dengan mengusai informasi, maka akan mudah bagi pemilik media dalam melakukan kontrol terhadap isu (agenda setting). Namun hal lain dari ini ialah tentu menyebabkan matinya profesionalisme pekerja media!


Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (Sudibyo, 2009), meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam media massa. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang professional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruh pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Kalau pendekatan individual yang diambil, penjelasannya adalah karena aspek personalitas dari wartawan yang akan mempengaruhi pemberitaan. Kedua, level rutinitas media (media routine). Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketiga, level organisasi. Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, wartawan sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.

Dari faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan media massa dalam hal ini salah satunya berkaitan dengan keputusan dan kebijakan redaksi tentang informasi mana yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan, wartawan atau jurnalis juga harus berdasarkan sembilan prinsip jurnalisme yaitu 1) Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran; 2). Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat; 3). Inti jurnalisme adalah disiplin untuk melakukan verifikasi; 4). Para wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang mereka liput; 5). Wartawan harus mengemban tugas sebagai pemantau yang bebas terhadap kekuasaan. 6). Jurnalisme harus menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik. 7). Jurnalisme harus berusaha membuat yang penting menjadi menarik dan relevan. 8). Wartawan harus menjaga agar berita itu proporsional dan komprehensif. 9). Wartawan itu memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya.

Apa yang dihadapi oleh wartawan di Indonesia saat ini? 
Profesionalitas wartawan berhadapan dengan pemilik media yang terlibat dalam politik. Pemilik media dapat menggunakan posisinya dalam menentukan kebijakan media yang tentunya mengutungkan bagi dirinya (Breed; dalam Severin dan Tankard, 2005:443). Maka lahirnya pers Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan pemiliknya.


Pers Indonesia yang sudah terbebas dari pengaruh negara yang otoriter, kini harus jatuh lagi ke tangan pemilik modal (kapital) yang terlibat dalam politik. Sistem pers Indonesia yang bertanggung jawab sosial atau Nurudin (dalam buku Sistem Komunikasi Indonesia) menyebutnya sistem pers pancasila harus kembali dipertanyakan? Ekonomi dan politik menjadi satu paket yang kini menguasai media di Indonesia dalam diri pemilik medianya. Alhasil, wartawan sebagai pekerja yang harusnya menjadi pekerja yang objektif dan independen harus menjadi kaki tangan si empunya media. 


Mengapa televisi menjadi media yang penting? 
Blumer (Schoenbach dan Lauf, 2002: 565; dalam Rianto, 2008: 77), jika dibandingkan dengan media-media lain (khususnya koran), maka televisi akan mempunyai pengaruh terhadap orang-orang yang kurang mempunyai kesadaran politik (less politically conscious). Ini disebabkan karena setidaknya tiga alasan. Pertama, televisi merupakan medium nonselective dilihat dari sudut pandang audiens. Media televisi akan menjangkau semua orang karena menarakan banyak kemudahan dan keuntungan. Televisi hadir di mana-mana pada waktu yang bersamaan, murah, mudah dicerna, dan dapat dinikmati dalam waktu-waktu senggang. Kedua, media televisi merupakan media informasi yang sangat persuasif. Ini disebabkan oleh setidaknya dua faktor, yakni televisi menyampaikan informasi secara sekuensial – yang mampu menembus ruang dan waktu – dan visualisasi informasi yang hadir dalam media televisi telah membuatnya tampak lebih meyekinkan dibandingkan media massa lain. Ketiga, jangkaun televisi yang sangat luas akan menyentuh audiens yang tidak begitu tertarik terhadap politik, dan dengan demikian akan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap mereka.

Berdasarkan hal tersebut kemudian banyak peneliti dalam Ilmu Komunikasi menaruh perhatian besar terhadap media televisi. Karena media televisi dianggap paling banyak diakses dan paling berpengaruh terhadap masyarakat. Sehingga kualitas masyarakat dapat dilihat dari kualitas program siaran televisi yang mana konten media diciptakan oleh pekerja medianya, yaitu wartawan. Jika kualitas berita di media televisi buruk dan menyesatkan masyarakat, maka akan timbul pertanyaan apa yang terjadi dengan pekerja medianya (wartawannya)?


Indonesia harus membatasi kepemilikan saham pemilik media pada media swasta seperti yang ada di Inggris. Indonesia juga harus membatasi kepemilikan media atau monopoli atas media. Seorang pemilik media tidak boleh memiliki media lebih dari satu. Misalnya, Bakrie yang memiliki TVone dan juga memiliki viva news atau Surya Paloh yang memiliki MetroTV dan juga memiliki Media Indonesia. Hal ini dianggap telah menyebabkan monopoliti terhadap media dan informasi. Dampaknya, seperti yang telah dikemukakan di atas akan ada kontrol terhadap informasi yang bertujuan untuk kenpentingan ekonomi dan politik.

Menyelamatkan pers Indonesia dari pemilik media berarti ikut menyelamatkan pekerja media. Indonesia mungkin telah dicap sebagai negara dengan jurnalisme terburuk dari kampanye dan hasil quick count pilpres 2014. Jadi pilihannya adalah menyelamatkan pers atau membiarkan profesionalisme wartawan mati ditangan para pembaca pasif?

No comments:

Post a Comment