Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (Sudibyo, 2009), meringkas
berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam media massa. Pertama, faktor
individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang professional dari
pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek
personal dari pengelola media mempengaruh pemberitaan yang akan ditampilkan
kepada khalayak. Latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur, atau
agama, sedikit banyak mempengaruhi apa yang ditampilkan media. Kalau pendekatan
individual yang diambil, penjelasannya adalah karena aspek personalitas dari
wartawan yang akan mempengaruhi pemberitaan. Kedua, level
rutinitas media (media routine). Rutinitas media berhubungan dengan
mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran
tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik,
atau apa kriteria kelayakan berita. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan
mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketiga, level organisasi. Level
organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik
mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal
yang ada dalam organisasi berita, wartawan sebaliknya hanya bagian kecil
dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi
media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.
Dari faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan
keputusan media massa dalam hal ini salah satunya berkaitan dengan keputusan
dan kebijakan redaksi tentang informasi mana yang boleh dan tidak
boleh dipublikasikan, wartawan atau jurnalis juga harus berdasarkan sembilan prinsip
jurnalisme yaitu 1) Kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran; 2). Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat; 3). Inti jurnalisme adalah disiplin untuk
melakukan verifikasi; 4). Para wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber
yang mereka liput; 5). Wartawan harus mengemban tugas sebagai pemantau yang
bebas terhadap kekuasaan. 6). Jurnalisme harus menyediakan forum untuk kritik
dan komentar publik. 7). Jurnalisme harus berusaha membuat yang penting menjadi
menarik dan relevan. 8). Wartawan harus menjaga agar berita itu proporsional
dan komprehensif. 9). Wartawan itu memiliki kewajiban utama terhadap suara
hatinya.
Apa yang dihadapi oleh wartawan di Indonesia saat ini?
Profesionalitas wartawan berhadapan dengan pemilik media yang terlibat dalam politik. Pemilik media dapat menggunakan posisinya dalam menentukan kebijakan media yang tentunya mengutungkan bagi dirinya (Breed; dalam Severin dan Tankard, 2005:443). Maka lahirnya pers Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan pemiliknya.
Pers Indonesia yang sudah terbebas dari pengaruh negara yang otoriter, kini harus jatuh lagi ke tangan pemilik modal (kapital) yang terlibat dalam politik. Sistem pers Indonesia yang bertanggung jawab sosial atau Nurudin (dalam buku Sistem Komunikasi Indonesia) menyebutnya sistem pers pancasila harus kembali dipertanyakan? Ekonomi dan politik menjadi satu paket yang kini menguasai media di Indonesia dalam diri pemilik medianya. Alhasil, wartawan sebagai pekerja yang harusnya menjadi pekerja yang objektif dan independen harus menjadi kaki tangan si empunya media.
Mengapa televisi menjadi media yang penting?
Blumer (Schoenbach dan Lauf, 2002: 565; dalam Rianto, 2008: 77), jika dibandingkan dengan media-media lain (khususnya koran), maka televisi akan mempunyai pengaruh terhadap orang-orang yang kurang mempunyai kesadaran politik (less politically conscious). Ini disebabkan karena setidaknya tiga alasan. Pertama, televisi merupakan medium nonselective dilihat dari sudut pandang audiens. Media televisi akan menjangkau semua orang karena menarakan banyak kemudahan dan keuntungan. Televisi hadir di mana-mana pada waktu yang bersamaan, murah, mudah dicerna, dan dapat dinikmati dalam waktu-waktu senggang. Kedua, media televisi merupakan media informasi yang sangat persuasif. Ini disebabkan oleh setidaknya dua faktor, yakni televisi menyampaikan informasi secara sekuensial – yang mampu menembus ruang dan waktu – dan visualisasi informasi yang hadir dalam media televisi telah membuatnya tampak lebih meyekinkan dibandingkan media massa lain. Ketiga, jangkaun televisi yang sangat luas akan menyentuh audiens yang tidak begitu tertarik terhadap politik, dan dengan demikian akan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap mereka.
Berdasarkan hal tersebut kemudian banyak peneliti dalam Ilmu Komunikasi menaruh perhatian besar terhadap media televisi. Karena media televisi dianggap paling banyak diakses dan paling berpengaruh terhadap masyarakat. Sehingga kualitas masyarakat dapat dilihat dari kualitas program siaran televisi yang mana konten media diciptakan oleh pekerja medianya, yaitu wartawan. Jika kualitas berita di media televisi buruk dan menyesatkan masyarakat, maka akan timbul pertanyaan apa yang terjadi dengan pekerja medianya (wartawannya)?
Indonesia harus membatasi kepemilikan saham pemilik media pada media swasta seperti yang ada di Inggris. Indonesia juga harus membatasi kepemilikan media atau monopoli atas media. Seorang pemilik media tidak boleh memiliki media lebih dari satu. Misalnya, Bakrie yang memiliki TVone dan juga memiliki viva news atau Surya Paloh yang memiliki MetroTV dan juga memiliki Media Indonesia. Hal ini dianggap telah menyebabkan monopoliti terhadap media dan informasi. Dampaknya, seperti yang telah dikemukakan di atas akan ada kontrol terhadap informasi yang bertujuan untuk kenpentingan ekonomi dan politik.
Menyelamatkan pers Indonesia dari pemilik media berarti ikut menyelamatkan pekerja media. Indonesia mungkin telah dicap sebagai negara dengan jurnalisme terburuk dari kampanye dan hasil quick count pilpres 2014. Jadi pilihannya adalah menyelamatkan pers atau membiarkan profesionalisme wartawan mati ditangan para pembaca pasif?
No comments:
Post a Comment