Page

Saturday, January 29, 2011

Demokrasi

Hari hampir senja, sinar jingga keemasan menyinari wajahku yang telah menua. Saat ini aku sedang duduk di sebuah kursi taman. Suatu tempat di mana dahulu aku kerap menghabiskan waktuku. Masa-masa itu kembali terkenang! Muncul di benakku dalam potongan adegan-adegan yang membuatku tertawa dan sekaligus mengasihani diriku sendiri. Perjuangan yang dulu berkobar dalam jiwaku telah padam saat ini. Entah mengapa kini aku menjadi bagian dari mereka, yang pada waktu itu sangat kubenci? Tapi sudahlah, kisah itu telah terjadi pada waktu yang sudah begitu lama. Dan perjuanganpun telah berubah konsep, lebih kepada bertahan untuk hidup!
Saat ini benar-benar sunyi, mungkin para mahasiswa yang ada di perguruan tinggi ini telah pulang ketempat peraduannya masing-masing. Atau mungkin juga mereka tak pulang, namun mereka melakukan hal yang sama seperti yang dulu pernah ku lakukan. Berkumpul bersama teman-teman, membicarakan hal-hal yang kami anggap menarik. Bagiku dan teman-teman idealisku, hal yang menarik adalah hal-hal yang benar-benar merupakan sesuatu yang kami anggap menyangkut kepentingan orang banyak. Orang banyak? Yah… orang banyak! Waktu itu tak jarang kami menyoroti para pejabat kampus yang mulai menyeleweng. Atau turun kejalan melakukan aksi bakar ban dan tak jarang berujung pada aksi baku hantam dengan polisi. “Baku hantam”, begitulah pembaca berita dengan wajah yang elok beberapa saat kemudian menggunakan dua kata tersebut, dalam memberitakan aksi demo yang kami lakukan pada breaking news di stasiun televisi mereka.
Atas dasar itu, akhirnya impianku semakin beralasan. Impian yang pada saat itu adalah untuk menegakan keadilan dan memberantas sipemakan uang rakyat. Impian untuk menguasai institusi pendidikan, yang bertujuan menularkan pemikiran yang saat itu kuanut kepada para generasi penerus bangsa. Kini mimpi yang selalu datang disetiap malam-malamku, tanpa alas an yang jelas, sejak pertama kali aku menginjakan kaki di kampus ini, telah aku dapatkan. Namum aku semakin merasa merana dengan keadaanku saat ini. Keadaan di mana mimpi itu tak semu lagi. Entah mengapa aku semakin merasa sunyi atau mungkin juga malu. “Malu?” sepenggal kata itu menggema memenuhi ruang-ruang yang ada di dalam benakku. “Kau seharusnya bahagia. Karena impianmu telah tercapai” aku berbisik pada diriku, berusaha meyakinkan diriku bahwa akulah juaranya. Juara? Yah… Juara dalam kompetisi kehidupan yang berujung pada keberhasilan. Keberhasilan? Kenapa aku harus meragukan keberhasilanku yang telah kudapatkan saat ini? Entah mengapa separuh dari bagian jiwaku tidak pernah mengakui bahwa diriku telah berhasil. Bahwa aku telah sukses! Aku membatin!
“Mengapa bapak sedih?”
Aku terperanjat. Suara seorang anak kecil terdengar jelas dari arah samping kiriku. Cempreng! Anak kecil itu dekil, bajunya lusuh dipenuhi tambalan yang tak rapi jahitannya. Belum lagi kakinya yang kusam dengan luka-luka kecil yang bernanah, telanjang. Ia duduk dengan posisi menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi taman ini. Karung dekilnya yang tak jauh berbeda dengan tubuh anak itu, hampir penuh, tergeletak disampingnya.
“Mengapa bapak sedih?” kata-kata itu kembali diucapkannya. Aku tak menjawab namun langsung balik bertanya.
“Sejak kapan kau duduk di sampingku nak?” kataku ingin tahu.
“Sejak tadi” jawabnya singkat
“Tapi… tadi aku tak melihatmu”
“Bapak terlalu sibuk dengan pikiran bapak sendiri, sampai bapak tak sadar aku ada di sini”
“Oh…” kemudian aku mengacuhkan anak itu. Nanarku menatap jauh, jauh kearah sang raja hari yang mulai merayap turun kesingahsananya.
“Bapak terlihat sedih!” anak itu kembali berkata, namun bukan dalam nada bertanya akan tetapi lebih kepada pernyatakan tentang apa yang tersirat dalam wajahku. Kemudian anak itu turut menatap kearah yang sama denganku. Cukup lama kami dalam diam. Sampai pada rasa ingin tahuku akan anak itu. Akan apa yang dia sampaikan kepadaku tadi.
“Mengapa kau katakana demikian”
“Karena wajah bapak”
“Dari mana kau tahu wajahku menunjukan kalau aku sedang sedih?”
“Kakekku wajahnya juga seperti anda kalau ia sedang sedih. Saat ku tanya kepada kakek mengapa dia sedih waktu itu, dia tak menjawab. Namun aku tahu dia sedih, karena setelah aku meninggalkannya. Walaupun aku sebenarnya mengintip kakek dari balik jendela. Aku melihat ia menangis”. Dia diam! Tatpanya menerawang jauh, menuju pada kenangan yang memilukan hatinya. Namun tak butuh waktu lama, senyum kecil yang indah merekah dibibirnya. Mengisyaratkan kebahagian yang tak terkira. Kebahagiaan yang dulu pernah kurasakan saat menjadi anak-anak. Tanpa beban!
Kemudain timbul pertanyaan dalam benakku, sebenarnya dari mana datangnya anak ini? Namun aku salut atas keberaniannya. Berani untuk berkomunikasi kepada orang yang lebih tua darinya. Menunjukan bahwa anak ini tidak memiliki mental kerupuk. Kemudian anak itu meluruskan duduknya. Sambil  menatap kearah wajahku dan berkata.
“Bakap tak takut duduk sendirian di sini?” suara cempreng itu berkata.
“Tidak” jawabku singkat namun tak melihat ke wajah kecilnya
“Aku juga tidak. Bahkan aku pernah sampai larut malam di sini” pernyataannya barusan seakan memacu adrenalinku untuk mengetahui lebih jauh tentang diri anak ini.
“Berarti kau anak yang sangat berani” kataku seraya melihat kearahnya sambil tersenyum kecil
“Aku harus berani pak” wajah anak itu langsung berubah muram. Ia menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya dan kembali berkata “aku harus berani semenjak ayah dan ibu tak ada lagi”. Belum sempat aku menanyakan penyebabnya, ia lansung melanjutkan perkataannya. “Mereka meninggal kerana terkena serangan jatung. Kini aku tinggal berdua dengan nenekku, karena nenek juga telah lama ditinggalkan oleh kakek. Tapi aku tak lagi menganggap itu masalah” katanya riang. “Kalau bapak sendiri, kenapa sedih?”.
“A… a… aku…” aku merasa kaget karena anak itu tiba-tiba menanyaiku! “Apakah aku perlu menjawab pertanyaan anak ini? Sepertinya anak ini tak pernah hilang rasa penasarannya untuk mengetahui dengan apa yang aku rasakan”. Bisikku dalam hati.
“Aku memiliki masalah yang berat” apa untungnya mengatakan hal itu kepadanya?
“Bapak baru ditinggalkan ayah dan ibunya yah…? Aku juga pada awalnya sedih. Namun lama kelamaan aku telah terbiasa. Tak usah sed…”
“bukan… bukan karena itu” aku langsung memotong perkataan anak itu. “Orang tua bapak telah lama meninggal. Tapi bukan karena itu” kataku buru-buru.
“jadi apa pak?” ia semakin penasaran
“e…. e….” aku seakan bingung harus mengatakan apa kepada anak kecil ini. Jika aku mengatakan apa yang menjadi bebanku selama ini, apakah ia mengerti. Atau akan semakin membuatku berfikir keras karena harus menjelaskan dengan bahasa yang mudah dia mengerti. Dia kan masih anak kecil!
“Oh… aku ingat bapak yang pada waktu berbicara dihadapan seluruh ma… ma… maba, yang berkumpul dilapangan itu kan pak? Aku dengar ada mahasiswa-mahasiswa seni.. senior yang teriak-terik ‘maba berbaris yang rapi. Cepat’” seraya dia berdiri sambil merekonstruksikan kembali tingkah para mahasiswa senior yang membentak-bentak juniornya. Kemudian dia kembali menghenyakan tubuhnya di kursi taman ini, lalu berkata.
“Pak memangnya maba itu apa?” tanyanya polos
“maba… singkatan dari mahasiswa baru, nak” jawabku singkat
“memang bapak siapa, sampai bisa berbicara di depan para maba itu?”
“bukan siapa-siapa”
“bapak juga yang naik mobil hitam, mengkilat dan sangat bagus itu kan ?” mata anak itu berbinar-binar saat mengatakan kalimat itu. Bibirnya tersenyum, merekah. “aku juga nanti mau jadi kayak bapak ah…”
Lama kami saling diam. Aku tak tahu anak itu memikirkan apa. Mungkin ia memimpikan seperti yang pernah aku mimpikan. Namun bedanya dia melihat dari apa yang dilihatnya dengan matanya, materi. Mungkin? Tapi aku dulu berbeda! Impianku adalah menjadi pemimpin bagi para intelek-intelek muda ini. Namun sekarang? Apa bedanya aku dengan bocah ini? Aku membatin.
“Kau masih sangat kecil nak! Banyak hal yang tidak kau mengerti” kataku memecah keheningan senja.
“Aku tahu apa yang sering dibicarakan oleh para pemuda itu, mereka yang sering duduk-duduk di kursi ini” ada nada senang dalam suara. “Mereka membicarakan masalah pimpinan mereka e….e…” dia berfikir. “Pimpinan, disebut apa? e… bapak rek.. rektor. Oh iya! Rektor. Mereka bilang rektor korupsi”.
Aku terdiam. Kuperhatikan anak itu dengan seksama. Polos! Namun mengapa emosiku memuncak saat mendengar kata-kata anak itu. Kalau tidak berfikir bahwa anak itu tidak tahu apa-apa dan hanya mendengar para bajingan tengik itu berkata, sudah kutampar anak ini.
“Bapak sering yah… duduk di kursi ini?” suara cempreng itu terdengar lagi.
“Yah…” jawabku. Mungkin ada nada membentak di dalamnya
“Kapan? Kok setiap aku berteduh di pohon sana ” ia menunjuk sebuah pohon Beringin rindang, yang ada dihadapan kami “bapak tak ada” lanjutnya.
“Dulu… waktu kamu belum lahir”
“Berarti dulu bapak juga mahasiswa?”
“Yah… bapak juga mahasiswa, sama seperti dengan mereka”
“Kalau bapak dulu duduk-duduk di taman ini dengan teman-teman bapak, membicarakan apa pak?”
“Sama dengan mereka”
“Berarti masalah korupsi Pak Rektor”
“Yah…” aku gugup “tidak juga… banyak masalah yang kami perbincangkan. Dan… e… salah satunya yang seperti kau katakan tadi”.
“Menurut bapak apa yang harus diperbuat kepada orang yang korupsi?” anak itu kembali bertannya, dengan pertanyaan seakan membuatku geger.
“Yah diadili dengan seadil-adilnya” jawabku mantap, namun seperti ada getar dalam suaraku, pada kata terakhir.
“Menurut bapak yang adil itu seperti apa?”
“Sang koruptor diberi kesempatan untuk membela diri” jawabku dengan senyum puas pada diriku sendiri.
“Maksud bapak? Kalau menurut aku pak, kalau sudah ada bukti yang memberatkan tak perlu sang koruptor itu diberi kesempatan untuk membela diri. Karena pada akhirnya dia akan lolos”
“Maksud bapak membela diri, em…” aku berfikir. “Agar jangan persoalan itu, diputuskan secara  sepihak. Yah… kalau sudah terbukti, orang tersebut pantas mendapat hukuman yang setimpal” kata-kata itu membuatku gemetar. Keringat sebesar biji jagung pun mulai timbul satu persatu. Wajahku basah, kemejaku basah. Aku menatap anak itu, ia balas menatap dengan tatapan yang dingin. Tak ada tawa yang tadi pernah kulihat merekah dari bibir kecilnya. Dia diam. Bahkan dia sangat mengerti dengan apa yang barusan kukatakan tadi. Karena dia tak lagi bertanya mengenai kata-kata yang tidak dipahaminya.
Matanya meyelidik. Aku merasa bagai terdakwa yang akan menerima vonis hukuman mati. Atau memang betul aku telah menerima hukuman itu? “Siapa sebenarnya anak ini?” pertanyaan itu menghatui diriku. Aku membatin, mengapa dia secerdas ini. Apakah ini malaikat yang dikirim tuhan dari langit untuk menghukumi aku. “ah… itu tidak mungkin” diriku yang lain mencoba membuatku kuat. Namun semakin lama ia berada di dekatku, aku semakin merasa lemas. Tak berdaya.
Seraya sambil berdiri anak itu berkata “kalau begitu pak” diraihnya karung yang tak penuh itu, lalu disandangkannya di pundaknya yang kurus seraya berkata “aku sudah tahu jawabannya”. Dia melangkah, menjauh. Aku berfikir, lama juga aku diam. Sampai rasa ingin tahu itu mendobrak-dobrak bibirku, dinding mulutku. Aku pun tak kuasa untuk meyekapnya lebih lama. Karena dia semakin berutal. Kemudian.
“Jawaban apa” suaraku memecah keheningan hari yang mulai gelap.
“Jawaban yang ingn aku ketahui, seperti yang bapak katakan tadi kepadaku” dia balas berteriak, karena dia kini telah jauh. Dia terus berjalan menunju kearah sisa-sisa sinar mentari yang masih tersisa. Entah mengapa aku ingin tahu nama anak itu.
“Nak namamu siapa” aku semakin lantang berkata.
Anak itu berhenti. Menoleh kearahku. Wajahnya yang tak tampak karena hari telah gelap tergambar jelas dibenakku. Bibirnya yang kecil membunyikan cicit yang tak jelas. Namun aku tahu namanya siapa? Sangat tahu! Tanpa harus mengulangi menanyai namanya siapa, dengan harapan dia akan memberitahukanku dengan suara yang lebih keras, kata-kata yang diucapkan anak itu benar-benar terdengar jelas. Sangat jelas! Entah mengapa aku merasa shock saat dia mengatakan satu kata itu. Benar-benar membuatku gentar, karena anak yang tak tahu dari mana datangnya  itu mengatakan bahwa namanya adalah  “DEMOKRASI”.

No comments:

Post a Comment