Page

Friday, May 1, 2015

Jokowi-Abbot: Maju Mundur Cantiklah???

Eksekusi mati Bali 9 menjadi fenomena yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Keputusan Presiden RI Jokowidodo untuk mengeksekusi para pesakit kasus narkoba sudah begitu bulat. Tekad untuk memerangi peredaran narkoba di Indonesia nampaknya sudah begitu kuat. Sebelumnya, Jokowidodo sudah mengeksekusi mati terpidana mati kasus narkoba gelombang pertama di masa jabatannya saat ini. Kali ini, keputusan juga sudah ditetapkan, regu tembak dengan yakin mengarahkan dan menekan pelatuk senjata api mereka, nyawa 8 orang melayang! (dengan Mary Jane dalam masa penangguhan)
Respon keras datang dari perdana menteri Australia Tony Abbott. Karena tidak diindahkan, akhirnya Australia menarik duta besarnya dari Indonesia. Hal ini sebagai bentuk protes atas keinginan Abbott yang tidak didengarkan oleh Jokowi. Seorang senator Australia mengatakan kalau Jokowi hanya menggunakan kesempatan ini untuk mencari popularitas. Karena dia melihat Jokowi presiden yang lemah. Pencitraan mungkin bahasa populernya di Indonesia.
Jokowi maju dengan penegakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, sedangkan Abbott mundur menarik diri (baca: duta) dari Indonseia. Well, sungguh istilah maju mundur cantik sangat tepat dalam melihat kasus ini. Ada sepenggal istilah "main cantik" yang lebih ditujukan kepada strategi tepat yang digunakan. Kedua orang tersebut yang mengatasnamakan negaranya, hukum dan ham, tentu punya penilaian tersendiri dalam melihat kasus ini. Jika itu dilihat dari kasus pemberantasan narkoba, sunggu Jokowi "maju cantik", sedangkan dari kacamata ham, dengan jujur saya katakan masih mungkin Abbott "mundur cantik".
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerapkan hukum mati pada kasus terpidana narkoba kelas kakap. Wikipedia mencatat ada 22 negara yang menerapkan sistem hukuman mati di ataranya Iran, Cina, As, Arab Saudi, dan termasuk Indonesia. Dalam hal ini hukuman mati terhadap kejahatan penyelundupan narkoba juga diterapkan oleh Malaysia dan beberapa waktu yang lalu seorang warga Australia tertangkap tangan menyelundupkan narkoba jenis sabu yang saat ini terancam hukuman mati, begitu pula di Cina. Hal ini sontak menimbulkan pertanyaan apakah Australia akan berlaku sama dengan menarik duta negaranya dari negeri jiran tersebut atau Malaysia membatalkan hukuman mati?
Yang menarik disini adalah kontraversi hukuman mati. Dari beberapa literatur menyatakan kalau hukuman mati melalui studi ilmiah tidak dapat memberikan efek jerah. Jadi hukuman mati tidak akan berguna dalam memerangi kejahatan narkoba. Sehingga hukuman mati dianggap hukuman yang paling melanggar hak asasi manusia. Namun hal itu lantas tidak menggoyahkan hati Jokowi.
Yang menarik juga dari kasus ini soal isu hukuman mati di Indonesia yang sarat dengan pencitraan si Bapak Jokowi. Banyak yang menuduhnya, entah benar entah salah, mengatakan kalau hukuman mati digunakan untuk pencitraan. Jokowi dinilai ingin membentuk citra pemimpin tegas nan nasionalis. Padahal yang terpenting, Indonesia harus membentuk sistem peradilan dan hukum yang bersih dan tegas. Sebab, saat ini hakim yang masih menerima uang sogokoan, tetap santer terdengar, termasuk dalam hukuman mati. Disini Presiden Jokowi harus bisa membuktikan bahwa hukum di Indonesia, khususnya dalam hukuman mati dilakukan dengan adil yang seadil-adilnya (sungguh berat rasanya menulis ini). Ini penting untuk meredam ke resahan negara terangga yang melihat Indonesia sebagai negara bandel dalam menerapkan hukuman mati.

No comments:

Post a Comment