Sudah menjadi sebuah kebenaran bahwa masyarakat
ASEAN terdiri dari berbagai budaya, etnis dan kepercayaan. Memahami masyarakat
ASEAN jelas tidak dapat dipisahkan dari perbedaan-perbedaan yang ada. Dalam hal
ini, kepercayaan yang tumbuh dan berkembang menjadi bagian dari masyarakat yang
melekat dalam kehidupan mereka.
ASEAN menjadi kawasan berkumpul dan
berkembangnya sejumlah kepercayaan-kepercayaan lewat jalur perdagangan maupun
lewat kolonialisasi pada masa silam. Namun pada dasarnya, pada masyarakat ASEAN itu
sendiri telah ada dan berkembang sejumlah kepercayaan sejak ratusan bahkan
ribuan tahun sebelumnya, bahkan hingga saat ini masih terus dipertahankan
keberadaannya seperti pada masyarakat indigenous
yang memiliki kepercayaan terhadap alam.
Pada beberapa waktu yang lalu, sebuah
program School of Peace (SOP) yang dilaksanakan oleh Interfaith Coordinator
Forum (ICF) melibatkan 15 peserta dari kawasan Asia dengan didominasi oleh
peserta yang berasal dari kawasan Asia Tenggara. Kegiatan yang dilaksanakan selama
tiga bulan di Seam Reap, Kambodia ini memiliki fokus pada keadilan dan
perdamaian dengan melihat perbedaan kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat
khususnya yang ada di kawasan ASEAN. Penulis sendiri menjadi salah satu peserta
pada program tersebut. Kegiatan ini sendiri menjadi sebuah program yang menarik
dalam melihat keberagamaan masyarakat ASEAN.
Berbicara masalah agama dan kepercayaan
dapat membawa kepada sejumlah perbedaan dan juga kesamaan. Agama dan kepercayaan
sendiri merupakan identitas dari masyarakat atau juga diri pribadi. Sebagai sebuah
identitas, terkadang agama dan kepercayaan dapat menimbulkan konflik. Kemudian konflik
tersebut membawa kepada pemahaman bahwa agama lah yang menyebabkan konflik
tersebut, yang kemudian menimbulkan sinisme antar kelompok agama dan
kepercayaan yang ada. Pada tahapan ini, kemudian konflik akan meluas dan
melibatkan banyak massa dengan berdalih membela agama dan kepercayaan mereka. Akan
tetapi, agama dan kepercayaan yang ada pada dasarnya tidak pernah mengajarkan
kebencian dan permusuhan. Agama dan kepercayaan lahir dari nilai yang harmonis yang murni dalam melihat hubungan antara manusia dan manusia, manusia dan alam,
serta manusia dengan tuhan.
Dialog
Interfaith
Proses pemahaman yang mendalam antar agama
mungkin tidak cukup hanya dilakukan pada ruang-ruang seminar atau pertemuan. Sama
halnya dengan upaya untuk menciptakan kehidupan yang harmonis tidak hanya
cukup dengan toleransi, akan tetapi aspek terpenting ialah keterikatan. Sejauh
mana setiap orang atau sebuah kelompok merasa bagian dari kelompok lain.
Seperti yang selama ini digadang-gadangkan “torang
semua ba saudara”. Dialog sudah seharusnya kembali pada hakikat dasarnya
yaitu mempertemukan orang-orang pada ruang privat, yang lebih bersifat kekeluargaan
dan lebih kepada mendengarkan bukan memperdebatkan.
Selama ini mungkin saja konflik antar agama
terjebak pada pemahaman yang keliru atau bisa dikatakan bahwa pemahaman itu
benar-benar keliru. Hal itu muncul karena kurangnya pemahaman yang dalam dan
lengkap mengenai agama dan kepercayaan yang berbeda. Lebih parahnya lagi, proses
menciptakan saling pengertian tersebut berupa kegiatan dialog yang dilakukan
dalam ruang seminar yang menghabiskan waktu dua tiga jam dan telah diklaim
sebagai proses yang dianggap cukup dalam memahami perbedaan antar agama dan
kepercayaan. Jika kembali lagi pada pengertian dialog, maka merupakan proses
mendengarkan yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat. Ada proses
panjang yang harus dilalui untuk kemudian menarik kesimpulan. Dalam berdialog,
setiap orang harus datang dengan hati dan pikiran yang tulus. Setiap orang yang
terlibat bukan untuk mencari cela, tapi lebih kepada memahami mengapa terdapat perbedaan.
Dari situ kemudian melahirkan pemahaman yang benar. Di sini, yang tidak kalah
penting ialah setiap orang harus mampu menumbuhkan rasa empati dalam dirinya,
sehingga melahirkan sebuah perasaan saling menghargai yang dilandasi oleh kasih
sayang.
Engagement: Toleransi Saja
Tidak Cukup
Sudah sejak lama Indonesia mengemukakan
bahwa dalam menumbuh kembangkan masyarakat yang harmonis dan damai, maka kita
harus hidup dalam toleransi. Antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
lain saling menghargai dan menghilangkan sekat-sekat yang ada. Nampaknya toleransi
telah menjadi bagian hidup masyarakat. Namun pertanyaan yang timbul adalah
apakah toleransi saja cukup? Sejauh mana toleransi bertahan jika tidak
mendorong setiap orang untuk saling terikat antara satu dan lain dalam kehidupan
yang lebih harmonis?
Dengan melihat berbagai konflik yang timbul
di kawasan ASEAN, termasuk di Indonesia, dengan mengatasnamakan agama nampaknya
perlu mempertegas bahwa konflik tersebut bukan berdasarkan agama. Kelompok
masyarakat yang berkonflik tidak serta merta mewakili agama tertentu. Hal ini
perlu diperjelas, termasuk dalam pemberitaan oleh media massa yang dengan mudah
memberi lebel kelompok agama tertentu pada kasus konflik yang terjadi.
Pada satu kesempatan, penulis berkunjung ke
Kabupaten Cilacap. Kota kabupaten yang terletak di Jawa Tengah tersebut memiliki
keberagaman dalam agama dan kepercayaan. Tidak hanya agama-agama yang diakui dalam
undang-undang akan tetapi terdapat pula kepercayaan masyarakat jawa seperti
Jawa Kejawen. Kemudian yang menarik ialah masyarakat yang hidup dalam perbedaan
tersebut saling terikat dalam hubungan yang harmonis. Pada satu pertemuan,
perbedaan dibicarakan secara santai dalam suasana kekeluargaan.
Indonesia yang merupakan negara dengan pemeluk
agama Islam terbanyak di dunia, setidaknya sebagian masyarakat merasa geram
dengan saudara-saudara Islam Rohingya di Mianmar. Berbagai pemberitaan
menunjukan perlakuan tidak adil pemerintah Mianmar dan bahkan para penganut
agama Budha terhadap mereka. SOP kemudian banyak melakukan dialog interfaith dengan memahami ajaran Budha
itu sendiri. Di sini kemudian menjadi jelas, bahwa ajaran Budha tidak pernah
mengajarkan untuk membenci apa lagi menyakiti dan membunuh. Ajaran Budha penuh
dengan belas kasih dan cinta kasih terhadap makhluk hidup. Kekerasan yang
terjadi terhadap Islam Rohingya, jelas merupakan kekeliruan. Agama dijadikan latar
belakang untuk membenarkan tindakan kekerasan yang sama sekali tidak pernah
diajarkan dalam agama itu sendiri.
Jika kembali lagi pada masyarakat ASEAN,
maka masyarakat ASEAN lahir sebagai masyarakat yang memiliki sejumlah agama dan
kepercayaan yang berbeda. Dari perbedaan tersebut, masyarakat kemudian mampu
menumbuhkan rasa empati yang melahirkan keterikatan yang harmonis tanpa ada
sekat dan prasangka. Dengan demikian, untuk memahami masyarakat ASEAN sudah
seharusnya dimulai dari hal dasar yang menjadi falsafah hidup mereka serta pada
aspek yang paling dekat dengan masyarakat itu sendiri yakni agama dan
keyakinan. Sehingga, kita benar-benar mengerti bahwa masyarakat yang hidup
di kawasan Asia Tenggara memiliki warna tersendiri yang menjadi ciri khasnya,
identitas yang berbeda dengan masyarakat di belahan bumi lainnya.
No comments:
Post a Comment