Aku hanyalah seorang mahasiswa yang baru memperoleh gelar sarjana strata satu dari sebuah universitas negeri. Saat ini, pontang panting mencari pekerjaan. Dunia pekerjaan seakan sebuah dunia mistis yang tidak dapat ditembus begitu saja. Butuh kemampuan supranatural tinggi atau setidaknya berbekal jimat sakti. Entah sudah berapa eksemplar ku layangkan lamaran pekerjaanku. Bahkan list daftar perusahaan telah habis ku contreng. Namun nihil. Hingga detik ini tak pernah ada jawaban yang pasti. Aku merana dalam penantian yang tak jelas!
Namaku adalah Arie Nuansya. Aku dipanggil Arie. Tak perlu aku
gambarkan ciri fisik ku. Namun lelaki yang bernama Arie ini, adalah seorang
teguh dengan pendirianya. Mempertahankan idealisme dalam dunia yang merayu.
Kekeh dengan apa yang disebutnya prinsip dalam hidup, yakni kejujuran! Hal itu
yang mungkin menjadikan diriku hanya ingin bekerja sesuai dengan idealisku.
Kalian tau apa alasannya? Aku hanya menilai jika aku bekerja tidak sesuai
dengan apa yang tidak aku inginkan, maka aku tak akan benar-benar melakukan pekerjaan
itu dengan baik. Hasilnya, tak akan ada sebuah profesionalitas. Aku akan menjadi
tumpul, lemah, dan sampah!
Atas dasar itu, entah mengapa aku menjadi tak menginkan
pekerjaan menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil. Tak perlu aku jelaskan lebih
rinci mengapa? Dulu, aku masih ingat ayah pernah begitu memaksa ku agar aku mau
menjadi PNS. Waktu itu, setelah aku wisuda, di ruang keluarga ayah berkata
kepadaku.
“Rie, ijazahmu sudah keluar?” aku mengalihkan pandanganku
dari televisi ke ayah yang sedang membaca koran.
“Sudah Pa” jawabku datar, kembali menyaksikan tayangan
televisi
“Papa masih punya jabatan. Masih bisa dengan mudah jadikan
kamu PNS”. Aku berusaha mencari tau arah pembicaraan ini. Kemudian ayahku
kembali berkata. “Hari senin kamu bisa masuk kerja di kantor papa”. Suaranya
terdengar tenang dari balik Koran.
“Pa, Arie tidak ingin jadi PNS”
“Kenapa tidak mau?” menghentikan membaca, menurunkan sedikit
korannya, menatap ku dengan kacamata yang melorot ke hidung!
“Ya” aku ragu “Arie malas saja jadi PNS” hanya itu yang telintas
dalam benakku
“Kenapa malas. Lihat papa, PNS tidak selamanya tidak punya
apa-apa”.
“Bukan gaji yang saya permasalahkan, Pa”
“Kalau begitu apa?”
“Sudah lah pak, Arie tidak ma…”
“Papa tidak ingin anak papa, punya masa depan yang tidak
jelas”
“Pa, apanya yang tidak jelas? Arie sekarang lagi berusaha”
“Untuk apa repot-repot melamar pekerjaan sana-sini dan tidak
ada hasilnya” nada suaranya mulai meninggi. Kemudian ayahku melanjutkan, “kamu jadi
tenaga honorer saja dulu di kator papa. Bulan depan ada penerimaan PNS. Baru kamu
ikut!”
Aku tidak mau sore ini menjadi sebuah pertengkaran antara ayah
dan anak hanya karena PNS. Maka aku memilih diam. Aku tahu papa ingin agar
anaknya sukses dikemudian hari. Tapi sukseskan tidak harus menjadi PNS. Masih
banyak cara lain. Bukankan kita diajarkan untuk tidak mudah menyerah. Gagal planning A, kita masih punya planning B, C, dan mungkin sampai Z. Tapi
PNS tidak masuk ke dalam salah satu rencanaku.
Entah mengapa aku tak sedikit pun tertarik untuk menceburkan
diriku ke dalam pekerjaan itu. Semenjak aku bergabung ke dalam gerakan mahasiswa
anti korupsi saat kuliah, seakan semua menjadi jelas. Penggelapan terlalu
nyata, kecurangan tak perlu ditutup-tutupi. Kau anak siapa, dan kau punya
berapa, itu yang berlaku. Aku masih ingat seorang senior harus dilarikan ke rumah
sakit karena percobaan bunuh diri. Dia mengikuti tes CPNS, sudah membayar
puluhan juta dari hasil jual kebun milik bapaknya. Namun naas, dalam daftar
pengumuman namanya tak tercantumkan. Sementara itu, uang puluhan juta itu pun raib
etah kemana? Saat itu keluarganya benar-benar sudah tidak punya apa-apa lagi!
Aku masih ingat saat teman-teman berhasil membongkar kasus penggelapan
dana renovasi sejumlah sekolah. Miliaran rupiah untuk sebuah bangunan, yang
sedikit saja gempa menggoyang bumi, pasti akan ambruk seketika. Saat itu, aku
tak ada di Indonesia. Aku sementara mengikuti pertukaran pemuda ke Canada.
Namun teman-teman tetap saling mengabarkan informasi. Bahkan mereka mengirimkan
data-data yang mereka temukan ke emailku. Entah mengapa, badai yang siap
membokar kezaliman itu lambat laun menjadi angin sepoi-sepoi. Lama kelamaan
bahkan tak berhembus lagi. Kata teman-teman, kasusnya sementara diusut oleh
pihak yang berwenang. Yang anehnya, teman-teman yang tadinya begitu berapi-api,
sekan tak peduli dengan kelanjutan kasus itu. Sampai gelar sarjana berada
diakhir namaku, kasus itu hanya menjadi salah satu dari sejumlah kasus-kasus
yang terlupakan.
Saat itu aku sadar, semua adalah permainan. Hanya sebuah
sandiwara. Layaknya para pemain sandiwara, mereka memperoleh imbalan dari peran
mereka. Seberapa besar? Yang pasti besar, karena mampu menyumpal mulut-mulut
serigala kelaparan yang setelah dijejali makan langsung berubah menjadi kucing
peliharaan! Itulah sistem pemerintahan. Aku alergi! Jika masuk ke dalam sistem
yang rusak, maka akan ikut rusak. Sekuat apa, pasti tak akan mampu bertahan.
Ibarat sebuah mobil, sebuah onderdil baru yang digunakan bersamaan dengan
onderdil yang telah rusak semuanya, tak mampu membuat onderdil lain menjadi
baru. Bahkan onderdil itu dalam hitungan hari akan rusak dan menjadi bagian
dari onderdil yang lainnya. Sistem yang rusak!
***
Seiring berjalannya waktu, tuhan sepertinya belum memberikan
jalan yang cerah dengan karirku. Ayah pun telah bosan membujuk ku. Dibiarkannya
saja aku. Katanya, “terserah kamu maunya
apa”. Untungnya, ini bukan sebuah
permusuhan antara ayah dan anak. Ini lebih kepada kebebasan yang diberikan oleh
seorang ayah kepada anak laki-lakinya dalam menentukan pilihan hidup. Atau ayah
sudah dapat menebak hasilnya seperti apa? Aku akan menyerah, dan kembali
membuat rencana bersama-sama dengannya! Mungkin seperti itu, sebab idelasiku
semakin tergerus oleh waktu. Oleh tanggu jawab!
Akhirnya, aku benar-benar menyerah. Aku kembali pada ayah
untuk mengikuti apa yang sejak awal diinginkannya. Mungkin dia benar, PNS dalah
nasibku. Toch, banyak orang yang jadi PNS tapi tetap mampu berkreatifitas,
mengasah kemampunnya. Aku mencoba mencari sesuatu yang bisa menguatkanku. Itu
saja!
Di satu sore, di ruang keluarga aku memulai percakapan dengan
ayah.
“Pa, Arie mau bicara” aku sedikit ragu
“Bicara apa?” jawabnya datar, sambil menyaksikan berita di
televisi
“Tentang”, aku bingung memulainya dari mana. “Tentang
pekerjaan. Arie mau jadi tenaga honorer”, ayah menatapku. Suara pembaca berita
terdengar sedang menginformasikan KPK yang berhasil membongkar kasus korupsi
seorang pejabat
“Kamu yakin?” ayah seakan tidak percaya
“Ya, tapi saya tidak mau jadi nonorer di kantor Papa. Saya
mau di kantor yang sesuai dengan disiplin ilmu ku” tawar ku. Ayah tertawa,
mengeleng-gelengkan kepalanya.
“Mana anak Papa yang dulu? Sudah bosan dengan semua?” nada
suaranya penuh ketidakpercayaan.
“Arie, hanya tidak ingin menjadi anak yang tidak mampu
berbakti kepada orang tua” jawabku datar
“Arie, Papa memang sangat ingin kamu jadi PNS. Tapi itu dulu”
, menatap ku lekat-lekat. “Sekarang Papa sadar, banyak hal yang bisa dilakukan.
Papa juga minta maaf, karena selama ini Papa tidak pernah mendukungmu” dia
menarik nafas dalam-dalam, menghembuskan, lalu kembali berkata, “kamu yakin mau
jadi tenaga honorer?”.
“Yaa a, yakin pak” aku ragu!
“Sekarang Papa tidak ingin kau jadi PNS” seraya mengambil
kopi yang ada di atas meja, menyeruput, lalu meletakkannya kembali.
“Maksud Papa?” seakan aku tidak percaya dengan apa yang
dikatakannya.
“Papa sekarang sedang mengembangkan usaha rumput laut. Semua
sudah Papa persiapkan. Dan Papa minta kamu yang mengelola usaha ini” ayah
berkata penuh semangat. “Ini kan juga sesuai dengan disiplin ilmu kamu”
lanjutnya. “Bagaimana?”
Aku seakan tak percaya dengan apa yang dikatakan ayah. Lelaki
cukup berumur itu, secara diam-diam mencoba memahami ku. Ayah, entah apa yang
membuatnya berubah, namun kali ini dia lah ayah yang sangat membanggakan di
suluruh dunia. Aku hanya mampu menjawab dengan senyuman bangga. Senyum seorang
anak, yang tidak akan menyia-nyiakan sebuah kepercayaan!
Palu (Anoa-Trimedia, 22/09/2011)
No comments:
Post a Comment