Sudah berapa gelas alkohol ini ku
teguk. Dahagaku tak pernah terpenuhi. Semakin kuteguk, semakin ku haus. Seakan minuman
ini menguap sebelum menyentuh tenggorokanku. Yang tersisa hanya rasa dahaga
yang semakin bertambah. Aku hanyala seorang lelaki penikmat kebebasan. Aku
selalu menghabiskan malam disebuah bar yang ada di kotaku. Setelah sinar
mentari mulai melenyapkan gelap, berulah aku beranjak pergi. Menuju pelukan
sang kekasih. Bagiku dunia adalah surga. Sangat bodoh jika tidak menikamti surga
itu. Dunia adalah wanita, dan sangat bodoh pula jika tidak menikmati wanita
yang ada di muka bumi ini. Jadi wanita dalah surga. Setidaknya begitula aku
memandang dunia dan wanita. Ada Clara yang seksi, Cristine yang mau diapakan
saja. Atau Yunita yang merelakan segalanya untukku. Belum lagi wanita-wanita
lain yang bersedia aku gauli kapan saja aku mau. Dasar bodoh!
Aku melewati lorong yang panjang dengan botol minuman ada
di genggamanku. Seekor ayam jantan berkokok dari balik tembok yang tinggi. “Kau
jantan”, bisik ku. Aku tertawa! Kemudian aku tiba disebuah perkarangan rumah. Aku
tak tahu ini rumah siapa, namun yang pasti salah seorang dari kekasihku yang
bodoh. Dengan setengah sadar aku memasuki pekarangan rumah itu. Namun aku
merasa aneh, seakan tempat ini asing bagiku. Tapi aku yakin ini hanyalah
pengaruh minuman yang ku teguk. Ku gedor pintu kayu rumah itu dengan botol
minuman yang ada di tanganku. Sesaat kemudian terdengar langkah seseorang yang
tergesa-gesa. Kemudian terdengar kunci pintu rumah itu diputar, dan pintu
terbuka. Dibaliknya berdiri seorang wanita menggunakan gaun putih. Akan tetapi
lebih mirip sebuah mukena.
“Kamu? Ada apa?”
“Sayang, izinkan aku masuk dulu. Baru kamu bertanya” aku
langsung menyeruak ke dalam rumah. Lagi-lagi ruang tamu itu terasa aneh bagiku.
Kemudian aku berbalik, lalu berkata “ayo lah sayang, kenapa masih berdiri di
situ. Masuklah bersamaku” tanganku mengisyaratkan gerakan mengajak.
“Kamu mabuk. Pergi dari sini!” wanita itu sedikit jual mahal
“Akhhh… biasanya kamu tidak banyak protes aku mabuk atau
tidak. Ayolah, ku berikan yang kamu mau, kita bercinta!” bujuk ku seraya
tersenyum penuh nafsu
“Pergi kamu! Keluar
dari rumahku” Pinta wanita itu dengan nada yang mengancam
“Baiklah, aku pergi” aku berjalan ke arah pintu sambil berkata
“Tenang sayang, aku tak akan menyakitimu”. Setelah dekat dengannya, aku
berbisik ketelinganya “aku akan memberikanmu kenikmatan”, kemudian aku langsung
memeluknya.
Wanita itu terkejut dan berusaha melawan, ku dekap dia erat. Bahkan
tanganku mungkin telah membekam mulutnya. Ku tendang pintu dengan kakiku. Tanganku yang babas, memutar kunci pintu itu
lalu melemparkannya begitu saja jauh ke dalam rumah. Wanita itu terus meronta,
namun aku semakin menggila. Ku seret tubuhnya ke sofa. Dia malah semakin liar,
aku semakin terbakar nafsu. Ku tindis tubuhnya, dengan kasar ku robek gaun
putihnya. Di kini menangis, aku tak tersentuh dengan air matanya. Kemudian
semuanya menjadi gelap, aku tak tahu apa-apa!
***
Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku bangun, ternyata aku
berbaring di lantai sebuah ruang tamu. Sebuah kaligrafi dalam bingkai kaca tepat di hadapanku. Haruf-hurufnya
yang berwarna emas indah dan halus. Ku pegang kepala ku yang terasa pening,
sementara pikiran ku berusaha menyadarkan diriku. Mencari sisa-sisa ingatan
sebelum aku tak sadarkan diri. Wanita itu? Ah, salah satu dari mereka. Aku
tersenyum mengingat betapa nikmatnya subuh tadi. Walaupun aku tak benar-benar
tahu seperti apa tepatnya, namun aku yakin dia terpuaskan olehku. Aku tersenyum
puas!
Aku bangkit dari posisi tidur. Kini aku duduk dengan kaki
lurus ke depan. Ku sapu pandanganku berkeliling. Ruang tamu ini diterangi cahaya
yang masuk dari cela-cela gorden yang diberikan menggantung. Kemudian aku sadar
kalau aku dalam keadaan bugil. Langsung ku raih celanaku yang ada di lantai,
saat aku hendak mengenakannya celana itu, dibasahi oleh cairan berwarna merah.
Ku endus, berbau amis. Baunya seperti darah. Dan ternyata, banyak darah yang
berceceran di lantai. Darah itu mengarah ke dalam rumah. Dengan masih keadaan
bugil, aku masuki rumah itu lebih jauh. Darah dilantai itu semakin banyak, mengarah ke sebuah
ruangan. Saat aku masuk ke dalam ruangan itu aku langsung menoleh ke sebelah
kanan, betapa terperanjatnya diriku. Seorang wanita terbujur kaku dengan wajah
menghadap lantai. Di dekatnya gagang telepon menggantung. Sesaat aku ragu mau
berbuat apa, namun aku penasaran dengan wajah wanita itu. Dengan kasar ku
balikan tubuh wanita itu. Wajah wanita itu lebih mengejutkanku dari kejutan
apapun yang pernah aku alami atau terima. Bukan luka yang menganga di
keningnya, bukan darah yang memenuhi seluruh wajahnya. Tapi identitas wanita
itu yang menghantamku tepat dibuah zakarku.
“Sial, kenapa terjadi begini. Arghhhh, anjing” ku tinggalkan
wanita itu. Aku menuju kamar mandi. Ku bersihkan seluruh darah yang ada di
tubuhku dan pakaianku. Kemudian dengan sangat tenang aku meninggalkan rumah itu.
Dan aku yakin tak akan ada yang tahu bahwa aku pernah meniduri wanita itu!
***
Setelah kejadian itu, hidupku seperti biasanya. Tidak ada
yang berubah. Aku masih menghabiskan malam ku di bar tempat aku biasa meneguk
minimum favorit ku. Namun aku berusaha untuk tidak terlalu mabuk, karena aku
tidak ingin kejadian salah rumah terulang kembali.
Saat aku meneguk cairan yang ada di gelas terakhir ku, wajah
wanita itu kembali muncul. Tak ada yang aku takuti, atau aku sesali. Hanya saja
mengapa aku bisa begitu tak tahu apa yang aku lakukan.
Wanita itu adalah Khairunnisa, seorang janda yang baru
ditinggal mati suaminya dua bulan yang lalu. Dia sendiri. Dia cantik, sangat
cantik. Namun dia bukan janda sembarangan. Dia seorang wanita soleha. Pernah
terlintas di benak ku untuk menikahi janda kaya itu. Akan tetapi aku sadar, wanita
baik hanya untuk lelaki baik. Aku tak pernah ingin menyentuh wanita itu dengan
cara seperti itu, bahkan sampai melukainya dan membuatnya tak bernyawa. Akan
tetapi, setidaknya aku pernah menikmati tubuhnya. Aku tertawa puas dengan
diriku. Puas? Bahkan aku tak ingat kejadiannya seperti apa? Mungkin saja wanita
itu merontah dan membuat kepalanya terbentur di lantai atau benda keras
lainnya. Atau aku sendiri yang membenturkan kepalanya ke lantai sebelum aku
menggaulinya. Arggghhh, kenapa aku begitu mabuk malam itu? Ku salahkan diriku.
“Kenapa kau menyalahkan dirimu?” Suara kecil dalam diriku
berbisik. “Bukankan selama ini kau menyalahkan ayahmu yang ulama itu? Ayahmu
yang bagai nabi itu?” lanjut suara itu. Kemudian aku kembali terkenang pada
ayahku yang telah tewas beberapa tahun yang lalu. Lelaki itu adalah seorang
ulama terpandang di kota ku. Sejak kecil, ilmu agama telah menjadi santapan ku.
Aku menerima segalanya dengan senang hati. Seakan nyawa ini langsung tercabut
dari raga jika aku tak melaksanakan ajaran agama. Omong kosong!
Aku yang dulu begitu patuh terhadap lima waktu. Ayat-ayat
suci Al-Quran bagaikan anak sungai yang mengalir dari bibir ku. Aku menjadi
burung beo yang mampu melafalkan 30 juz dengan benar dan sangat baik.
Aku juga masih ingat saat malam itu. Malam yang merubah
segalanya dalam hidupku. Di awali dengan hubungan diam-diam yang aku jalani
dengan Siti. Wanita soleha yang menjadi tetanggaku. Sejauh itu, hubungan kami
masih normal. Bertemu, diam, saling menatap, berbicara sedikit, lalu kembali
ke rumah masing-masing. Tiba-tiba ayah tahu segalanya, entah siapa yang memberi
tahu. Mungkin saja kursi taman tempat kami berjumpa yang berkhianat, atau
jendela kamar yang setiap malam aku lompati hanya untuk mengucapkan selamat
tidur kepada Siti yang ingkar?
Ayah murka, kami berdebat. Ayah kuat dengan pandangnnya bahwa
dalam islam tidak boleh pacaran. Aku kekeh dengan pembelaan bahwa kami hanya
bertemu biasa dan tidak pernah terjadi apa-apa. Kemudian aku minta ke ayah agar
meminang Siti untuk ku. Ayah semakin murka, katanya jadi benar kalau kau sudah
pernah tidur dengan Siti. Kau masih sekolah, mengapa kau minta segera menikah?
Aku membela diri, namun kata orang lebih didengarkan dari kata anaknya sendiri.
Kau adalah aib bagi ayah. Kau mencoreng agama dan nama baik. Kau bukan anak
ayah. Bahkan sebelum lelaki itu memutuskan hubungan bapak dan anak, aku merasa
dia bukan lagi ayahku yang menjadi panutan ku. Aku pergi, dan melupakan semua
hal itu. Persetan dengan segalanya!
Sejak kejadian itu, aku ingin melakukan apa yang dulu
dilarang oleh ayahku. Dan ternyata dia bohong. Dia menyebunyikan kenikmatan itu
dari diriku. Surga dunia yang dipisahkan dari penghuni surganya. Dan setiap
rasa bersalah atas perbutanku saat itu, yang kusalahkan adalah ayahku. Hingga
saat ini aku tak pernah merasakan rasa bersalah itu atas perbuatanku. Aku tak
takut. Aku manusia tanpa rasa takut!
Kejadian tewasnya Khairunnisa sedikit mengganggu ku. Aku tidak
takut atas apa yang telah aku lakukan. Bahkan, Tuhan sekaligus datang
menghukum ku atas kematian wanita itu, aku siap menantangnya. Namun, yang
meresahkan ku, masih normal kah aku sebagai seorang manusia? Bukankan manusia
diberikan berbagi rasa. Dan aku telah kehilangan rasa takut. Aku membatin!
Ku tinggalkan bar itu. Aku berjalan melawati jalan yang gelap.
Dari balik semak, terdengar suara erangan. Sepasang mata menatap ku, dalam
gelap. Aku diam, ku raih sesuatu lalu ku lemparkan kearah mata itu. Tepat
mengenainya, terdengar bunyi lengkingan, lalu binatang itu lari. Mungkin seekor
anjing kudis, bisik ku. Yah seekor anjing, binatang!
Kemudian aku terus berjalan. Dinginnya malam membekamku. Aku
tak memiliki tujuan. Aku binatang. Aku bukan manusia. Pikiran itu muncul dalam
benakku. Aku sama dengan anjing, aku sama dengan hewan lain. Aku bukan manusia.
Semakin mempengaruhi ku. Tapi mengapa aku seperti manusia? Mengapa aku masih berjalan dengan kedua kakiku?
Mengapa aku masih menutupi tubuhku dengan benang? Aku binatang, berlakulah
seperti binatang! Kini benar-benar merasuki pikiran ku.
Aku tak bisa seperti ini. Aku binatang. Seharusnya binatang
tak seperti manusia. Binatang tak hidup seperti manusia. Aku binatang buas, aku
kejam. Binatang buas tak memiliki rasa takut. Binatang buas harusnya hidup di
hutan. Aku tak layak mengatakan rumah seperti rumah milik manusia adalah
rumahku. Aku harus ke hutan. sebab di sanalah rumah binatang buas. Aku binatang!
Aku terus berjalan, meninggalkan
keramaian kota kecil ku. Aku terus berjalan meninggalkan wanita-wanita manusia
itu. Kini aku terus berjalan, seperti binatang. Kini aku berjalan tanpa pakaian
milik manusia, karena binatang tidak memakai baju dan celana. Menuju sungai,
menuju hutan dan gunung. Aku pergi untuk menjadi binatang seutuhnya. Karena aku
binatang!
Toaya, 30
Agustus 2011
adenuriadinsubandi
No comments:
Post a Comment